Wednesday, September 29, 2010

Antara Rezeki dan Keringat

..kalau mau dapat rezeki, ya harus mau berkeringat. Cuma ada satu cara untuk dapat rezeki tanpa berkeringat, yaitu menipu.. koinuntukprita.png

Kalimat ini saya dengar dari Pak Edy, rekan kerja saya. Sepertinya Pak Edy termasuk seorang yang sangat menghayati peribahasa Jawa: "Jer basuki mawa bea". Saya pikir, orang seperti Pak Edy juga termasuk dalam kelompok orang yang mendukung anjuran "..bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya."
Seingat saya, di pelajaran ekonomi ada prinsip "mendapatkan hasil sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya". Mereka yang menghayati prinsip ini, tentu ingin memperoleh rezeki sebanyak mungkin dengan "berkeringat" sesedikit mungkin. Tentu saja ini tidak harus dilakukan dengan cara menipu, seperti yang dikhawatirkan Pak Edy. Tidak juga harus dengan korupsi atau perbuatan tidak terpuji lainnya.

Seorang mandor mungkin hanya sedikit sekali berkeringat dibandingkan seorang kuli bangunan. Tetapi penghasilan sang Mandor sering kali jauh lebih besar dari kuli bangunan. Dalam banyak hal, orang dimungkinkan untuk "mendelegasikan" kerja berkeringatnya kepada orang lain. Bahkan si pelaksana kerja juga kadang tidak perlu berkeringat, karena sudah sangat mengusai pekerjaannya. Berbagai inovasi yang telah menghasilkan metode, alat, sistem dan organisasi yang makin efektif dan efisien, sering kali dapat dihubungkan dengan semangat untuk "mendapatkan hasil sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya". Jadi keringat yang dikucurkan tidak selalu proporsional dengan rezeki yang diperoleh.

Mereka yang yakin bahwa rezeki harus ada hubungannya dengan "keringat" (membuat/mengerjakan sesuatu) mungkin akan terkejut dengan kenyataan bahwa secara global, sebagian besar transaksi keuangan dilakukan untuk keperluan yang tidak ada hubungannya dengan membuat/mengerjakan sesuatu, dan juga tidak ada hubungannya dengan jual beli barang dan jasa. Saat ini hanya sekitar 2.5% nilai transaksi keuangan yang berhubungan dengan jual beli barang dan jasa (ekonomi sektor real). Sedangkan yang 97.5% digunakan untuk spekulasi. Jadi sebagian besar uang di dunia ini ditransaksikan bukan untuk membeli barang/jasa, ataupun untuk "membayar upah buruh sebelum kering keringatnya". Uang ditransaksikan untuk membeli dan menjual uang.

spekulasi 75.jpgspekulasi now.jpg

Tampaknya mereka yang suka punya nyali untuk spekulasi jumlahnya makin banyak, karena pada tahun 1975, 80% nilai transasksi keuangan adalah untuk aktifitas perdagangan barang/jasa, investasi, dan kegiatan lain ekonomi sektor real lainnya, hanya 20% yang merupakan transaksi spekulatif. Saya tidak berani membayangkan, andai makin banyak lagi orang yang suka spekulasi. Andai orang lebih suka berspekulasi "memperdagangkan" uang. Andai tak ada lagi orang yang mau memperoleh penghasilan dengan cara membuat atau mengerjakan sesuatu. Tak ada lagi yang mau menjadi karyawan. Tak ada lagi yang mau berkeringat menanam dan memanen padi. Tak ada lagi yang mau bekerja di pabrik. Tak ada lagi....

No comments:

Post a Comment

You can use HTML tags.