Konon, di negeri ini penggemar "gratisan" jumlahnya banyak sekali. Jadi tidak mengherankan, setiap ada acara pembagian zakat, sembako gratis, dan gratisan yang lain, peminatnya sering kali lebih banyak dari yang diperkirakan. Tidak aneh pula kalau dalam kampanye legislatif dan ekskutif daerah dan nasional sering muncul janji sekolah gratis, fasilitas kesehatan gratis, dan gratisan yang lain. Namun sering tidak ada penjelasan bagaimana fasilitas itu bisa digratiskan dan dari mana dana untuk membiayai fasilitas yang mau digratiskan itu.
Menurut sebuah studi, zakat yang dikelola secara benar telah berhasil mengurangi jumlah jumlah rumah tangga miskin sebesar 15 % s/d 17 % setiap tahunnya. Hal ini dikemukakan dalam satu diskusi yang dihadiri DR Syafie Antonio dan DR Didin Hafiudin beberapa hari lalu di sebuah TV swasta. Hal serupa juga diuraikan dalam tulisan Dr Irfan Syauqi Beik: Peran Zakat Mengentaskan Kemiskinan dan Kesenjangan. Mengacu pada studi itu, seorang calon kepala daerah, misalnya, dengan optimis dapat memperkirakan bahwa dalam empat tahun, jumlah rakyatnya yang masih miskin akan berkurang menjadi tinggal separuhnya, apabila zakat di daerahnya dikelola dengan baik.
Rakyat yang daya belinya meningkat dan tak lagi miskin, akan menjadi mampu membayar sendiri fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan dan lain-lain meskipun tidak gratis. Jadi, si calon kepala daerah dapat menggunakan pengelolaan zakat sebagai "kendaraan politik" dengan melontarkan isu kesejahteraan, kesenjangan dan kemiskinan. Isu ini tentu lebih bermartabat dari pada isu "gratis", tinggal bagaimana mengemas isu ini agar mudah difahami masyarakat,......dan mudah difahami juga oleh para penggemar "gratisan" .
No comments:
Post a Comment
You can use HTML tags.