Penembakan oleh Marinir yang menewaskan tiga warga sipil di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Grati, Pasuruan, Jawa Timur, Rabu lalu (30/5), membuat saya terkejut. Sejak maraknya demontrasi menuntut reformasi sekitar tahun 1998, saya telah terlanjur merasa simpati kepada Korps Baret Ungu ini. Saya yakin, saya bukan termakan rekayasa media yang mengatakan bahwa, sewaktu berdemontrasi, mahasiswa merasa lebih senang dikawal Marinir dari pada dikawal kesatuan lain.
Tahun 1998 (saya lupa hari, tanggal dan bulannya), saya sedang di Semanggi. Sejumlah orang berkerumun menghadap pagar tembok sebuah bangunan di deretan samping Wisma GKBI. Di antara mereka tampak beberapa personil TNI dengan baret ungu. Saya mendengar bahwa tadi malam telah terjadi insiden. Saya kurang jelas insiden apa. Konon kerumunan orang itu sedang marah atas insiden tadi malam, yang katanya melibatkan pasukan TNI dari kesatuan tertentu. Mereka sedang mengepung sejumlah aparat dari kesatuan tersebut yang terpisah dari kesatuan induknya. Dari sela-sela pagar, tampak beberapa orang berseragam, memakai helm dan memegang tameng. Di bawah jembatan Semanggi saya lihat ada sisa-sisa kain warna hijau seperti bekas tenda tentara yang dibakar.
Tiba-tiba seorang di antara kerumunan itu mengambil batu dan akan melemparkannya ke balik tembok. Seorang marinir mengejarnya. Saya mengira orang itu akan dipukul oleh si Marinir. Ternyata saya keliru. Si Marinir (seorang kapten), setelah merebut batu, merangkul orang tersebut, dan mengatakan : " Mas, yang sebelah tembok itu saudara-saudara kita juga!"
Andai saja si Kapten Marinir tidak berhasil mencegah pelemparan batu, boleh jadi kelompok pasukan yang tertinggal di balik tembok itu akan terprovokasi dan membalas. Mungkin dengan lemparan batu juga, atau...dengan peluru. Saya salut dengan cara si Kapten menangani situasi ini. Bayangkan jika dia bertindak kasar, kerumunan masa yang sedang marah itu bisa saja terpancing, bertindak anarkis, dan bentrokan tidak bisa dihindarkan.
Kejadian ini membuat saya semakin simpati kepada Korps Marinir. Saya tidak menduga dan tidak mengerti mengapa sampai terjadi insiden seperti di Pasuruan? Saya berharap sama seperti kata Imam Prasojo dan Sutradara Ginting, bahwa prajurit Marinir dan warga sipil Desa Alas Tlogo adalah sama-sama korban sebuah sistem.
Ketika Mal Blok M baru berdiri, sering saya lihat personil TNI ditugaskan mengatur lalu lintas Bis, Kopaja dan Metromini di terminal Blok M. Guru bahasa inggris saya, seorang warga AS, mengatakan bahwa tentara di negaranya tidak pernah ditugaskan untuk hal-hal yang seharusnya jadi tugas polisi. "Mereka terlalu powerful untuk dipakai menghadapi warga biasa", katanya.
Salah seorang Pangdam Jaya (lagi-lagi saya lupa namanya), pernah mengungkapkan kekhawatirannya dengan banyaknya prajurit yang ditugaskan dalam satuan PHH di masa awal reformasi. Kata beliau, penugasan pada satuan PHH untuk mengamankan aksi-aksi unjuk rasa, telah banyak mengurangi waktu latihan untuk personilnya. Jadi penugasan TNI untuk menghadapi warga sipil ternyata bukan hanya membahayakan warga sipil, tetapi juga membahayakan negara, karena menurunkan kesiapan TNI untuk menghadapi musuh negara yang sesungguhnya.
TNI memang seharusnya hanya mengurus hal-hal yang menyangkut pertahanan dan keutuhan wilayah tanah air. Pengamanan tanah sengketa biarlah diurus oleh satuan polisi pamong praja.
Saturday, June 2, 2007
Marinir vs Warga Sipil Alas Tlogo, Pasuruan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
You can use HTML tags.