Saturday, April 5, 2014

Pemilu 2014: Just Another Election Day.

Saya malas datang ke Tempat Pemungutan Suara pada Pemilu 2014. Pemilu 2014 adalah Pemilu yang kesekian kali dalam hidup saya. Just another election day. 9 April 2014 is just another ordinary day.

Berikut adalah hal-hal yang membuat saya malas ke TPS:

  • Jumlah partai masih terlalu banyak

Makin banyak Parpol peserta Pemilu, makin mahal biaya Pemilu yang harus kita tanggung. Pada Pemilu 2009 ada 38 Parpol yang ikut. Saya berharap jumlah partai peserta Pemilu berikutnya (2014) tidak lebih dari 7 Partai Politik saja atau 20% (saya pakai asas Pareto) dari 38 partai di Pemilu 2009. Sementara, kata Jusuf Kalla, jumlah Parpol yang ideal sekitar 10 Parpol
Jumlah Parpol yang tidak banyak lebih memudahkan bagi pemilih, bagi KPU, bagi Bawaslu dan juga bagi penyelenggara pemungutan suara di TPS-TPS. Ternyata Pemilu 2014 diikuti oleh 12 Partai Politik (dan 3 Partai Lokal). Lumayanlah, meskipun masih terlalu banyak dari yang saya harapkan.

Kita seharusnya malu dan prihatin dengan terlalu banyaknya jumlah parpol, karena sedikit banyak ini menunjukkan bahwa kita lebih suka menonjolkan golongan/aliran dan sukar bersatu sebagai bangsa. Jadi makin tidak mengherankan kalau di masa lalu kita begitu mudah ditaklukan dan dijajah oleh Belanda, sebuah negara kecil nun jauh di Eropa sana.

  • koalisi pragmatis dan oportunis.
    Seharusnya partai-partai sudah melakukan koalisi sebelum pemilihan legislatif. Seharusnya partai-partai politik berkoalisi karena kedekatan platform, ideologi atau sekurang-kurangnya kedekatan program/sasaran. Meskipun, hari pemungutan suara 9 April 2014 semakin dekat, belum ada partai yang mengumumkan pasangan koalisinya. Partai-partai politik lebih suka menunggu hasil pemilu legislatif untuk menentukan partai pasangan koalisinya. Jadi ini adalah koalisi pragmatis dan bahkan oportunis, karena lebih pada hitung-hitungan perolehan suara (kursi) calon pasangan koalisi
    Bayangkan misalnya ada pemilih yang sangat suka dengan Partai A, namun sangat "benci" dengan partai B, dan "netral" (tidak terlalu suka ataupun terlalu benci) dengan partai C, dan D. Tentu pemilih ini akan mencoblos partai A pada hari pemilihan 9 April 2014. Kemudian, bagaimana seandainya setelah Pemilu, partai A dan partai B ternyata berkoalisi? Tidakkah hal ini membuat si pemilih kecewa karena suaranya telah dimanipulasi?. Andai sebelum Pemilu dia tahu peta koalisi partai-partai politik, mungkin dia akan memilih Partai C yang berkoalisi dengan Partai D, meskipun Partai C dan Partai D bukan partai yang paling disukainya.
    Selain itu, dengan mengetahui peta koalisi parpol, jumlah alternatif partai yang akan dipilih dapat dikelompokkan sesuai koalisinya. Tentu lebih mudah memilih satu dari lima kelompok parpol dari pada dari 12 Partai atau bahkan dari 38 partai (seperti Pemilu 2009).
    .
  • Cara Pemungutan suara lebih primitif dari pada Pemilu 2009.

Pada Pemilu 2014 ini pemungutan suara dilakukan dengan mencoblos, padahal pada Pemilu 2009 dilakukan dengan mencentang/mencontreng. Bagi saya mencontreng/mencentang lebih educated dari pada mencoblos. Sewaktu negara-negara lain sudah pakai e-voting yang ramah lingkungan, ekonomis dan modern, kita malah kembali ke cara primitif dengan mencoblos. Konon, yang masih memakai cara mencoblos hanya Indonesia dan sebuah negara di Afrika.

Karena Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2009 memutuskan kembali ke cara mencoblos untuk Pemilu 2014, maka berarti Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2009 mengakui gagal menjadikan rakyat kita menjadi lebih terdidik dan lebih modern. Apakah mereka lupa bahwa mecerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat Pembukaan UUD '45? Terus buat apa kita pilih mereka lagi di Pemilu 2014?

  • Parpol dan Capres/Cawapres pilihan saya tidak pernah jadi pemenang Pemilu.
    Selama saya ikut Pemilu Legislatif, belum pernah partai pilihan saya jadi pemenang. Selama saya ikut Pemilu Presiden, belum pernah Capres/Cawapres pilihan saya jadi pemenang. Jadi saya hampir berkesimpulan bahwa saya tidak berada pada mainstream pilihan politik mayoritas masyarakat Indonesia.

Di satu sisi Anda boleh mengatakan, saya tidak pandai memilih, karena pilihan saya tidak pernah menang. Namun, di sisi lain, ketika banyak kritik terhadap pemerintah, saya merasa berhak menghibur diri dengan mengatakan, ini bukan pemerintah pilihan saya. Meskipun saya akui bahwa partai yang saya pilih pada Pemilu 2009 termasuk dalam koalisi pendukung pemerintah dan ikut dalam kabinet.

Jadi, menurut Anda, apakah saya harus datang ke Tempat Pemungutan Suara pada Pemilu 2014 ini ?

No comments:

Post a Comment

You can use HTML tags.