Awal September 2014, saya dapat tugas ke Semarang. Saya sengaja mencari tempat menginap di sebuah hotel di dekat Simpang Lima, terutama karena di kawasan ini kita mudah sekali untuk mencari penjual makanan meskipun pada larut malam. Simpang lima Semarang adalah pertemuan dari lima jalan, yaitu Jl. Pahlawan, Jl. Pandanaran, Jl. Ahmad Yani, Jl. Gajah Mada dan Jl A Dahlan. Di sekitarnya berdiri hotel-hotel berbintang dan pusat perbelanjaan. Simpang lima Semarang merupakan ruang terbuka yang biasa digunakan oleh masyarakat Semarang untuk beraktifitas. Simpang Lima sepertinya menjadi Land Mark kota Semarang, karena pusat kegiatan dan keramaian berada disini.
Suatu hari saya berjalan kaki mengitari Simpang Lima. Saya senang bahwa Pemerintah Kota Semarang menyediakan Zebra Cross -termasuk untuk menyeberang ke lapangan yang menjadi pusat Simpang Lima. Adanya Zebra Cross ini sangat membantu saya yang agak paranoid soal menyeberang jalan. Namun saya terkejut sewaktu akan menyeberang Jalan Ahmad Yani (di sisi selatan Plaza Matahari). Di Jalan ini memang ada Zebra Cross, tetapi di tengahnya ada pagar yang menghalangi penyeberang jalan. Penyeberang harus membungkuk untuk melewati celah di pagar ini. Karena celah ini sempit, penyeberang jalan yang berbadan besar atau yang gemuk akan kesulitan melewatinya. Zebra Cross terhalang pagar, sungguh kontradiktif.
Saya hampir saja mengunggah foto Zebra Cross yang dihalangi pagar ini ke akun Facebook saya. Saya juga hampir menuliskan kalimat bernada keluhan. Tetapi hal itu tidak jadi saya lakukan. Saya khawatir akan mengalami hal sama dengan Florence Sihombing yang ditahan karena dianggap menghina Jogja. Saya juga khawatir mengalami hal sama dengan dengan @kemalsept yang dilaporkan oleh Ridwan Kamil ke Polisi karena dianggap menghina Bandung.
Nasib Florence Sihombing dan @Kemalsept tidak sebaik Prita Mulyasari. Meskipun Prita ditahan dan diadili, tetapi dia mendapat dukungan dan pembelaan dari para pengguna media sosial. Yang saya belum dapat mengerti adalah mengapa perlakuan terhadap Inna Savova jauh lebih baik dari pada terhadap Florence Sihombing, @Kemalsept dan Prita. Inna Savova menyebut Bandung sebagai City of Pigs. Tetapi Inna Savova tidak dilaporkan ke Polisi. Walikota Bandung, Ridwan Kamil menanggapi santai soal blog Inna Savova yang menyebut Bandung 'The City of Pig'. Ia justru mengajak warga Bandung introspeksi terkait urusan sampah tersebut. Inna Savova sepertinya juga tidak penah membuat pemintaan maaf. Meskipun demikian tidak ada pihak yang menuntut atau melaorkan Inna Savova ke pihak penegak hukum. Ini berbeda dengan Florence, meskipun sudah membuat permintaan maaf, gabungan LSM dan sekelompok masyarakat melaporkan Florence Sihombing kepada Polda DIY. Florence dianggap menimbulkan kebencian, luka hati dan permusuhan terkait SARA di Jogja. Florence ditahan pada Sabtu (30/8) lalu mulai pukul 14.00.
Sebenarnya saya ingin sekali mengunggah foto Zebra Cross yang dihalangi pagar ini ke akun Facebook saya. Saya ingin sekali menulis kalimat seperti: "...Zebra Cross terhalang pagar di Simpang Lima Semarang ...." atau "..Jangan halangi penyeberang jalan.." atau "...Pemerintah Kota Semarang perlu lebih memperhatikan keperluan penyeberang jalan dan pejalan kaki......." Saya ingin sekali Walikota Semarang menanggapinya dengan santai dan mengatakan akan introspeksi, seperti yang dilakukan Ridwan Kamil terhadap tulisan Inna Savova. Namun saya tidak terlalu yakin bahwa Walikota Semarang akan menanggapi tulisan saya dengan cara yang sama seperti Ridwan Kamil menanggapi tulisan Inna Savova: Bandung 'The City of Pig'.
No comments:
Post a Comment
You can use HTML tags.